Manusia Modern
Menurut seorang pakar psikologi yang juga penulis buku "Virtual Addiction," David Greenfield, masyarakat di abad modern ini sudah semakin terbiasa mengalami kondisi depresi disebabkan "kelebihan" sumber informasi.
Tapi, menurutnya, manusia juga punya batas-batas tertentu dalam menghadapi semua hal itu. Tentu saja bila teknologi informasi bisa digunakan sesuai fungsinya, kualitas hidup mereka akan semakin meningkat, terutama dalam hal belajar dan berpikir.
Seorang pakar komunikasi dari Universitas Illinois di Chicago, Steve Jones, mengatakan bahwa semua kemudahan akses informasi tersebut bisa membuat orang-orang menjadi lebih "pintar." Meski harus mengorbankan banyak waktu untuk mencari informasi, mereka juga akan mendapatkan banyak hal yang berharga dari internet.
Tapi menurut Steve. semua itu juga ada bahayanya, Karena sifatnya instan, orang-orang lalu cenderung menerima informasi "apa adanya" dan menganggap apa yang mereka temukan saat itu adalah sumber informasi yang terbaik, sehingga mereka malas untuk mencari atau membandingkan dengan sumber informasi lainnya.
Bahkan, informasi yang melimpah itu seringkali membuat orang kelabakan, karena rasa penasaran untuk mengikuti semua perkembangan yang terjadi saat ini, hingga membuat mereka "kekenyangan" informasi. Paling tidak begitulah pendapat Jennifer Kayahara, seorang peneliti dan pakar sosiologi dari Universitas Toronto.
Meski Del.icio.us, Flickr dan beberapa fasilitas online lainnya semakin memudahkan orang untuk mengelompokkan informasi, namun keputusan dalam memilih informasi yang benar-benar tepat dan sesuai kebutuhan tetap bergantung pada "kebijakan" masing-masing individu pengguna internet.
Itu artinya, dibutuhkan keterampilan yang semakin canggih dalam mencari sekaligus mengevaluasi semua informasi yang didapatkan secara online. Intinya kita harus bisa memanfaatkan informasi secara proporsional, bukan malah diperbudak informasi.
Karena bagaimanapun juga, manusia modern bukanlah manusia yang mengetahui semua hal, melainkan manusia yang memiliki "pengetahuan" dan "pemahaman" yang cukup tentang lingkungan dimana mereka berada. Tanpa kedua hal itu, kita cuma bisa membebek dan membeo di tengah derasnya arus informasi.
Menurut Hans Jonas sebagaimana digambarkannya dalam buku The Imperative Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (1984:
Paradigma antroposentris di atas menjadi pendorong bagi manusia modern untuk melakukan perubahan dalam segala aspek kehidupannya. Perubahan itu tidak saja berkaitan dengan paradigma berpikir, melainkan juga bersangkut-paut dengan pola hidup keseharian. Argumen kedua adalah kemajuan. Kemajuan merupakan ideologi manusia modern. Karena ideologi itu, manusia modern selalu berusaha untuk melawan status quo. Status quo dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya karena menghambat kemajuan itu sendiri.
Dalam rangka mewujudkan kemajuan, teknologi memiliki peran penting. Jonas bahkan lebih jauh memperlihatkan bahwa teknologi sendiri merupakan simbol kemajuan yang paling dominan di era modern. Simbol-simbol itu terungkap dalam sarana-sarana yang digunakan. Ia bahkan melihat teknologi telah pula meningkatkan produktivitas yang sangat tinggi dalam bidang ekonomi global. Bagi konsumen teknologi telah membawa mimpi-mimpi baru, yakni mimpi untuk menikmati kehidupan yang lebih menyenangkan.
Salah satu ciri manusia modern adalah menginginkan segala sesuatu, kesenangan dan kebahagiaan tanpa harus bekerja secara aktif dan produktif, termasuk melakukan teror untuk menopang kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan. Manusia modern hanya pandai melakukan inovasi-inovasi sains dan teknologi tetapi tidak pandai memelihara alam semesta secara bertanggung jawab.
Dengan demikian, mainstream ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjanjikan kedamaian dan kesejahteraan dengan terpenuhinya kebutuhan biologis yang serba modern sulit dibuktikan, bahkan hanya menyisakan derita yang amat dalam bagi kehidupan ini.
Citra utama manusia modern adalah sepenuhnya rasional, memandang rendah hal-hal yang sifatnya "pinggiran" seperti fiksi. Industri hiburan yang nilainya milyaran dolar sangat bertumpu pada dongeng itu. Jutaan orang di seluruh dunia berbondong-bondong mengunjungi gedung teater untuk menyimak dongeng-dongeng. Selama ini, kita sudah mengenal sejumlah dongeng
Memang peran dongeng dalam masyarakat modern tidak lagi sepenting seperti dalam masyarakat pra-modern. Dongeng, dalam masyarakat modern, mungkin dipandang hanya sebagai "hiburan" yang sifatnya kurang serius, kurang penting, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan sain atau teknologi. Tetapi, dalam kenyataannya, manusia modern tetap membutuhkan dongeng. Pada akhirnya, dongeng adalah sesuatu yang "indespensable", tak bisa diabaikan. Kenapa dongeng dan kisah penting, saya kira bisa diterangkan dengan pelbagai penjelasan. Kisah dan dongeng memberikan kepada kita suatu "prototipe" tentang dunia ideal yang kita angankan. Manusia selalu hidup dalam tegangan antara dunia rill dan dunia yang seharusnya, antara ide dan kenyataan. Dunia riil, biasanya, tidak seindah dunia "seharusnya". Dongeng memberikan contoh bagaimana dua dunia itu harus dikelola dalam konteks naratif yang seolah-olah nyata.
Karena itu mungkin tidak salah Lewis Munford dalam bukunya Tecnics and Civilization menilai, peristiwa yang menimpa manusia modern tidak lepas dari perilaku-perilaku yang diperlihatkannya. Karena peradaban manusia modern tidak lagi mengikuti nilai-nilai intrinsik seperti sikap baik terhadap sesamanya, berperilaku adil terhadap sesamanya, dengan Tuhannya dan dengan alamnya.
Apa yang dipertontonkan manusia modern adalah kesombongan diri dan keangkuhan di hadapan Sang Pencipta. Dalam bukunya yang lain, Erich Fromm bahkan secara sinis menunjukkan bagaimana perilaku manusia modern dalam konteks keagamaan. Dalam You shall be as God (1978), ia menyatakan secara jelas bahwa manusia modern memiliki kecenderungan untuk menjadi tuhan-tuhan baru.
Ia menganggap dirinya mahatahu, mahakuasa, dan mahasegalanya. Justru karena sikap demikian ia tidak peduli lagi kehidupan sesamanya, serta kehidupan spiritualnya. Barangkali potret ini pulalah yang menghantui masyarakat kita secara umum dan elite politik kita secara khusus. Erich Fromm (1900-1980) menegaskan, keberlangsungan manusia, baik secara fisik maupun sebagai spesies, tergantung dari perubahan radikal hati manusia.
Transformasi hati hanya ada jika terjadi mutasi secara drastis di bidang ekonomi dan sosial, yang memberi ruang harapan bagi manusia untuk berubah (Fromm, Avere o Essere, 1977: 24). Perubahan itu jauh lebih radikal dari hanya sekadar solidaritas dengan orang miskin. Menghadapi masyarakat yang sakit, menurut Fromm, dituntut perubahan hati yang mensyaratkan dua hal. Pertama, agar pemimpin bangsa menciptakan transformasi sosial-ekonomis yang memungkinkan rakyat miskin dihargai martabatnya. Kedua, tuntutan mengubah tingkah laku manusia di hadapan dunia alam semesta.
KH Ali Yafie mengatakan bahwa sepanjang abad ke-20 dan ke-21 ini, manusia sangat bangga disebut modern. Menurut dia, definisi manusia modern adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual yang memadai, karena telah menempuh pendidikan yang memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam diri manusia modern adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam, di mana syariat pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik, sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak dapat diperoleh.
Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri manusia modern yang terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu beragama dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut adalah rasional, mengandalkan kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana, dan kompetitif. Namun, ia memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak boleh melupakan matahati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja sama.
Salah satu persoalan serius yang menimpa manusia modern kontemporer adalah alienasi dan reifikasi. Gejala tersebut terjadi akibat dari cara pandang yang dualistik-atomisitik-mekanisitik-materialistik. Sebagai misal, subjek-objek, fakta-nilai, manusia-alam, manusia-Tuhan, “aku”-”yang lain”, borjuis-proletar, sakral-profan, suci-sekular, timur-barat, maju-terbelakang, pria-wanita.
Alienasi adalah keadaan mental manusia yang ditandai oleh perasaan keterasingan terhadap segala hal atau sesuatu; sesama manusia, alam, lingkungan, tuhan, bahkan terasing terhadap dirinya sendiri. Hal ini terkait dengan gejala reifikasi atau pembendaan (obyektifikasi). Adalah keadaan mental manusia modern menghayati dirinya sendiri sebagai benda, objek. Segala sesuatu pada akhirnya dilihat sebagai benda. Dunia reifikasi adalah dunia keterasingan. Praktik-praktik, untuk tidak menyebut semua, konsumerisme, kecemasan mendalam, hedonisme pada kehidupan manusia modern sejatinya merupakan pelarian dari bentuk-bentuk alienasi dan reifikasi.
Orang akan menemukan eksistensi dirinya ketika berbelanja, sebab ia sedang mengobyektisasikan dirinya terhadap imaji-imaji yang ditawarkan oleh iklan. Karenanya bisa dimengerti ketika seseorang tidak berbelanja—dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang tidak dbutuhkannya—ia merasa terasing dalam hidup, terasing terhadap di luar dirinya, bahkan terasing terhadap drinya.
Alienasi dan reifikasi tidak hanya berkutat pada persoalan tersebut. Persoalan gender, gerakan pembebasan, semangat sains, keberagamaan, kehidupan bersosial, bekerja, peradaban, dan hal oposisi biner lainnya, sesungguhnya, secara filosofis setidaknya, merupakan implikasi dari gejala alienasi dan reifikasi.
Pembendaan atau menjadikan segala sesuatu sebagai objek dalam tataran gender mengakibatkan pria memandang wanita sebagai hal yang berbeda terhadap gendernya, sebaliknya. Pria diasumsikan harus begitu, sedang wanita diasumsikan harus begini. Hal ini dikarenakan pandangan dualistik. Pria melihat wanita sebagai objek, dan pada saat yang sama pria pun memandang dirinya sebagai objek. Begitu juga dengan wanita, melihat pria sebagai objek, di saat yang sama ia melihat dirinya sebagai objek. Inilah yang mengakibatkan bias gender, baik itu patriarkalistik maupun matriarkalistik. Pandangan ini erat kaitannya dengan gejala alienasi dan reifikasi.
Begitu juga dengan soal Kiri dengan Kanan, Tuhan dengan manusia, nilai dengan fakta, dan sebagainya. Ketika manusia melihat sesuatu di luar dirinya sebagai objek melulu, tanpa ada keterkaitan sebagai pengalaman hidupnya, problem alienasi dan reifikasi tidak akan terselesaikan. Dan sulit untuk menjawab persoalan-persoalan yang yang muncul, katakanlah problem ekologis, kekerasan, dehumanisasi, kemiskinan, kriminalitas, individualistik, dll. Persoalan ini bukanlah tanpa sebab atau jatuh begitu saja dari langit. Persoalan-persoalan atau krisis-krisis tersebut terkait erat dengan pandangan-dunia yang mendominasi kehidupan manusia modern, yaitu dualistik. Manusia modern tidak mampu memahami realitas secara integral atau holisitik melainkan dengan keterpilahan dan keterpisahan.
Krisis ekologis, untuk tidak membahas satu per satu, merupakan cara pandang manusia melihat alam atau lingkungan sebagai objek belaka, yang tidak terkait erat dengan pengalaman hidupnya. Alam diperlakukan sebagai entitas tidak bernyawa dan bermakna serta berkesadaran. Alam telah diputus dari jaringan kehidupan, yang dimana manusia terlibat di dalamnya. Alam dieksploitasi tanpa memedulikan dampaknya terhadap kehidupan. Sebab manusia, sebagai pengamat, melihat alam tidak terkait dengan jaringan kehidupan. Alam dilihat dengan cara rasio-instrumental, yang menitikberatkan keuntungan atau kuantitas melulu. Sejatinya teknologi(sme) yang dikembangkan berdasarkan praasumsi demikian. Bencana lumpur panas Lapindo disebabkan cara pandang tersebut.
Begitu juga dengan persoalan perdebatan klasik antara teori dengan praktik. Selama cara pandang melihat persoalan tersebut bersifat dualistik, sama sekali pun tidak akan pernah mencapai titik temu. Kalangan teoritis yang melihat ranah praktis adalah hal lain, sebaliknya kalangan praktis melihat ranah teoritis lain hal, sesungguhnya implikasi dari pandangan dualistik. Yang melihat segala sesuatu terpisah sama sekali, dan pada akhirnya sebagai objek melulu. Kulminasinya berujung bahwa segala sesuatu adalah objek, pengalaman yang dilihatnya dipandang tidak terkait dengan pengalaman dirinya, hingga dirinya pun dipandang sebagai objek: alienasi dan reifikasi.