Jumat, 30 November 2007

Sentra Kerajinan Alat Musik Tradisional Di Jatinangor

Sentra Kerajinan Alat Musik Tradisional Di Jatinangor

Kawasan Jatinangor Kab Sumedang, ternyata memiliki banyak kerajinan tangan. Kerajinan tangan tersebut berupa patung dan alat musik. Patung dan alat musik tersebut umumnya berasal dari berbagai suku baik dari dalam maupun luar negeri.

Paramonik adalah salah satu contoh dari toko yang menjual patung dan alat musik. Ia tidak hanya menjual, mereka bahkan memproduksinya sendiri. Di Paramanik, alat musik Sunda justru tidak diproduksi. “sudah banyak yang memiliki toko kerajinan Sunda, kalau saya buat yang seperti itu lagi, maka keuntungannya akan berkurang” ungkap Asep Dodi K, pemilik Paramonik, saat diwawancarai di tokonya, (10/3)

Ide dari pembuatan benda seni ini, biasanya tergantung dari pesanan konsumen. Alat musik yang dijual disini adalah Jimbe dari Afrika, Tifa (Asmat), Digario (Aborigin). Di Jatinangor sendiri Digario biasa disebut dengan Lidu-lidu.

Banyaknya karyawan yang bekerja disana adalah 12 orang. “karyawan yang saya ambil, biasanya berasal dari daerah di dekat Paramonik juga, umumnya malah masih tetangga dengan saya” ujar pria berumur 37 tahun ini. Asep mempelajari pembuatan benda seni ini dengan melihat cara pembuatannya sejak ia kecil. Mereka juga sering mengadakan pameran di Bandung dan di Jakarta. Contoh saja saat mereka menggelar pentas kesenian, terutama digario pada (8/3) kamis lalu, di kampus Fakultas Komunikasi, Universitas Padjadjaran.

Nama Paramonik sendiri ternyata tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Mereka hanya mengetahui bahwa ada tempat produksi. Barang-barang hasil produksinya banyak yang sudah diekspor ke luar negeri. “setiap satu minggu, biasanya selalu ada pelanggan yang datang, entah mau memesan lagi, ataupun mengambil barang yang sudah jadi”. Kata Asep.

Sama halnya dengan Paramonik, Cax-cax yang didirikan oleh Dian Sofyan juga menjual banyak benda kesenian, terutama alat musik. Tetapi tidak seperti Paramonik, bahan yang didapat oleh Cax-cax umumnya adalah barang setengah jadi yang ia dapatkan dari Jawa Timur. Menurut Dian, ia sendiri sudah jarang sekali mengikuti pameran-pameran, karena masyarakat yang menyukai karya seni biasanya sudah banyak yang tahu mengenai tokonya. “ya, buat apa saya ikut pameran, toh hasil produksi saya sudah banyak yang tahu, lagipula kalau mereka datang ke Jatinangor, kan bisa langsung mampir ke toko saya, karena letak toko saya pasti terlihat oleh mereka” kata Dian, saat di temui di tokonya, (10/3)

Lain halnya dengan kedua toko diatas, Balatrax, selain memikirkan unsur komersil, juga tetap melihat pada budayanya sendiri. Menurut Herman, pemilik Balatrax, “semua kekayaan seni tetap harus dilestarikan”. Herman sendiri menjelaskan, kebanyakan konsumennya lebih banyak yang memilih patung dibandingkan alat musik. “ada juga yang memesan alat musik tapi tetap lebih banyak yang memesan patung” kata pria yang pernah tingga di Bali selama 15 tahun ini.

Tidak jauh berbeda dengan Paramatik, toko ini juga adalah usaha keluarga, ia sudah berdiri dari tahun 1992. Setiap satu minggu pun toko ini banyak dikunjungi oleh turis asing dan turis lokal. Ia juga membuka toko lain di Bali yang bernama Geura Bali. Toko tersebut saat ini dikelola oleh keponakannya. Nama Balatrax sendiri Herman peroleh akibat, sewaktu zaman Belanda tokonya sangat laris di pesan, sehingga ia harus sering berlari kesana kemari, sehingga disebut Balatrax yang artinya berantakan atau tidak teratur.

Tidak ada komentar: