Kamis, 01 Mei 2008

Bangkitkan Film Nasional di Indonesia!

Tampilnya film ayat-ayat cinta yang diminati oleh ribuan penonton, bisa menjadi acuan bagi industri perfilman di Indonesia untuk dapat menciptakan film-film yang berkualitas dan terdapat nilai norma-norma di dalamnya. Bila saya amati sebelumnya, film-film yang memiliki kualitas dan terdapat nilai norma di dalamnya baru sedikit, rata-rata dunia perfilman saat ini lebih suka membuat film yang hanya disukai oleh para penonton tanpa memikirkan apa akibatnya bagi bangsa kita.

Film-film di Indonesia saat ini lebih banyak yang membuat film tentang hantu, tidak ada apapun yang dapat kita peroleh dari film tersebut. Yang di dapat hanyalah rasa takut dan senang saja. Menurut saya, boleh saja menciptakan film hantu namun seharusnya di dalam film tersebut ditambahkan pesan-pesan moral bagi bangsa kita sehingga moral bangsa kita bisa bertambah baik.

Pertama kali saya menonton film hantu adalah film jalangkung, setelah itu, suster ngesot, dan film yang terakhir saya tonton adalah film tali pocong perawan yang diperankan oleh Dewi Persik. Jujur saja, saya mau menonton film tali pocong perawan karena saya tertarik oleh berita-berita yang ada di media tentang bagaimana peran Dewi Persik dalam film tersebut.

Pada awalnya saya kira, film ini bukanlah film hantu, melainkan film orang dewasa, dari awal siaran sudah mulai di sajikan adegan yang agak porno. Inti dari cerita ini sepertinya hanya dibuat-dibuat dan saya sama sekali tidak mendapatkan pelajaran dari adanya film ini.

Menurut saya, ada baiknya bila film-film Indonesia mulai memproduksi jenis film yang bermutu agar bisa bersaing dengan film-film yang ada di luar negeri. Misalnya saja, film Nagabonar 1 dan Nagabonar 2, Denias, dan Gie. Film-film ini bisa menumbuhkan semangat bagi bangsa kita untuk dapat lebih mencintai negerinya sendiri.

Lewat film ini, para penonton dapat disadarkan akan negeri Indonesia, akan keindahannya, sehingga kita bisa lebih mencintai negeri kita sendiri. Beberapa film nasional saat ini memang mulai banyak yang diminati oleh bangsa kita misalnya film Kiamat Sudah Dekat, Naga Bonar Jadi Dua, Get Married, Eiffel I’m In Love, Jaelangkung, Suster Ngesot dan lain-lain.

Dalam film Nagabonar jadi dua terdapat nila cinta dan keluarga, Deddy juga mengisyaratkan nilai penting perjuangan dan sejarah kemerdekaan bangsa yang digambarkannya dengan keinginan Nagabonar untuk mengunjungi situs-situs bersejarah serta makam pahlawan. (Diolah dari www.kapanlagi.com).

Munculnya nagabonar jadi dua membuka wawasan dan cakrawala baru bagi perfilman Indonesia. di tengah-tengah masyarakat yang mulai enggan untuk menghidupkan kembali keindonesiaan, memang perlu untuk memunculkan tokoh-tokoh sekaliber nagabonar yang memang indonesia banget. Dikatakan melawan kapitalis, memang ada kecenderungan ke sana. semoga saja film-film seperti ini dapat menggugah atau mengilhami perjuangan untuk mengangkat citra perfilman indonesia.

Film Gie yang diperankan oleh Nicholas Saputra, menurut saya termasuk ke dalam film yang dapat membangkitkan semangat para pemuda Indonesia agar dapat membangkitkan semangat nasional dan membuat Indoensia semakin maju.

Membangkitkan Semangat Nasional dari Film

Untuk membangkitkan semangat nasionalisme, cara yang mudah sebenarnya bisa melalui film-film. Dalam buku Komunikasi Massa dijelaskan bahwa fungsi dari film dapat terkandung fungsi informatif maupun fungsi edukatif, bahkan persuasif. Misi perfilman nasional sejak tahun 1979 sebenarnya, selain sebagai media hiburan juga sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka Nation and Character Building. Namun, apa yang saya lihat saat ini adalah sepertinya film hanya berperan sebagai fungsi menghibur saja, tanpa ada unsur edukatif di dalamnya.

Film-film nasional seperti Gie, Nagabonar, dan Denias hanyalah sebagian kecil dari film kita yang memiliki nilai pendidikan, sisanya adalah film-film horror yang malah semakin memperburuk nilai moral. Film-film yang bernilai agama pun baru ayat-ayat cinta yang digandrungi oleh para pecinta film. Ayat-ayat cinta pun sempat membuat sedikit pertentangan karena filmnya terlalu islamiah dan sepertinya malah menjelek-jelekan agama lain. Namun dari film itu kita juga bisa menilai sendiri maksud dari film tersebut.

Film Denias, Senandung di Atas Awan merupakan film yang mengusung tema tentang dunia pendidikan. Sebuah langkah yang terbilang berani, di tengah derasnya tema pop seperti horor dan cinta remaja. Mengingat produser film ini Alenia Pictures dan EC Entertainment adalah "pemain" baru di kancah perfilman nasional. Mereka menyebutnya obsesi dan idealisme untuk menampilkan sesuatu yang jarang tersentuh dan berbeda.

Dunia perfilman nasional saat ini dihantui empat masalah besar, yakni tema film yang tidak variatif, pajak produksi film yang cukup besar, tak ada standardisasi teknologi, dan ruwetnya birokrasi yang mengurusi film. Menurut saya, agar film-film nasional kita bisa menjadi film-film yang didalamnya terdapat nilai-nilai kehidupan, film tersebut haruslah kaya dengan tema cerita, jangan hanya mementingkan kesukaan para penonton saja.

Dengan tema-tema film yang lebih variatif akan menyebabkan film-film nasional lebih beragam, kaya warna, tidak membosankan, dan yang lebih penting adalah akan mengundang rasa ingin tahu masyarakat untuk menonton film tersebut

Peran Pemerintah

Ada 10 proses yang dikenai pajak dalam pembuatan film, yaitu dari pita film, shooting, edit, pembuatan kopi, sulih suara, transfer optik, dan peredaran masing-masing dikenai PPN. Sedangkan untuk artis, sutradara dan kru produksi dikenai PPH. Masing-masing tahap dikenai pajak 5-30%. (http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=157402&actmenu=39).

Dalam hal ini, bila kita mau memproduksi film-film yang lebih bermutu sebaiknya pemerintah sedikit mengurangi tarif pajak yang ada. Hal yang seringkali mengganggu dalam hal ini terutama adalah masih banyaknya pembajakan, sehingga pajak yang diminta terasa lebih berat jika dibandingkan penjualan filmnya sendiri, karena para penonton biasanya lebih senang membeli bajakan karena murah dibandingkan membeli yang asli, yang pastinya lebih mahal.

Untuk memberi iklim produksi film nasional yang baik mutlak diperlukan standardisasi teknologi. Jika tekhnologi untuk menunjang perfilman tinggi atau bagus, maka menurut saya hasil perfilman kita pun akan semakin bagus pula, bahkan mungkin bisa bersaing dengan film-film yang berasal dari luar negeri.

Di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata terdapat banyak bidang yang mengurusi film. Misalnya, ada Asdep Urusan Fasilitas dan Pengembangan Perfilman, Subbid Pengembangan Perfilman, Subbid Film Cerita dan Film non Cerita, Usaha Perfilman, Teknologi Perfilman, Komunitas Perfilman, Lembaga Film. Sudah banyak, lembaga yang mengurus tentang dunia perfilman, namun hanya sebagian kecil dari masyarakat saja yang tau apa pekerjaan mereka. (http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=157402&actmenu=39).

Hal yang sudah dilakukan oleh Depbudpar dalam salah satu surat kabar yang saya baca adalah terobosannya saat memfasilitasi para produser film yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Film Indonesia untuk mengikuti Hongkong International Film & TV market (FILMART) 17-20 Maret 2008 yang lalu. Tujuannya, supaya film-film nasional dapat menembus pasar luar negeri. Langkah Depbudpar ini tentu saja cukup positif. Akan tetapi di samping memberikan peluang ekses pasar global, maka yang tak kalah penting Depbudpar juga harus menciptakan event-event di dalam negeri yang dapat merangsang perkembangan film nasional

Agar film-film yang ada dapat membangkitkan semangat nasionalisme yang baik, sebaiknya kita sebagai bangsa juga dapat memilih sendiri film-film seperti apa yang dapat kita tonton, para produser perfilman juga sebaiknya memikirkan tentang dampak apa yang akan diakibatkan bila membuat film. Kalau bisa jangan hanya bisa meniru apa yang paling disukai oleh para penonton tapi malah menciptakan ide-ide film baru yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh para penonton, sehingga film-film nasional bisa menjadi semakin kreatif.

Mila Akmalia

Mahasiswi Jurnalistik Fikom UNPAD

Bandung

(mila_akmalia@yahoo.com)