Senin, 14 April 2008

Tidak Ada Target Operasi Pasir Saat ini

Masih terdapat indikasi adanya kegiatan penambangan, yang melanggar Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia (No: 02/M-DAG/PER/1/2007), tentang larangan Ekspor Pasir, Tanah, dan Top Soil (Termasuk Tanah Pucuk atau Humus). Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa tugboat yang menarik tongkang yang isinya telah kosong dijumpai di perairan Tanjung Pinang, diduga jalur yang dilalui dari Singapura, masih terlihat aktifitas truk-truk pengangkut di lokasi penambangan pasir, dan adanya tumpukan pasir di pulau kecil. (8-9/5)

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau target operasi pasir saat ini tidak ada, karena sejak diterbitkannya Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia (No: 02/M-DAG/PER/1/2007, tentang larangan ekspor pasir, tanah dan top soil), seluruh kegiatan penambangan pasir darat maupun tanah dihentikan kegiatannya. Kuatnya penjagaan juga membuat orang tidak berani mengambil resiko untuk menyelundupkan pasir laut dan sumber daya non hayati lainnya yang dilarang untuk diekspor. Pengawasan dapat dilakukan pada lokasi-lokasi penambangan pasir yang sudah tidak operasional, namun dampak kerusakannya masih dapat dilihat sampai sekarang. Seperti: adanya bekas gigitan kegiatan penambangan yang menimbulkan lubang-lubang karena tidak dilakukan reklamasi, kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, kerusakan pulau-pulau kecil, abrasi pantai dan menurunnya tangkapan hasil nelayan.

Lokasi-lokasi penambangan pasir darat yang tidak beroperasi berada di daerah Kawal, Kijang (Pulau Bintan), Nongsa (Pulau Batam), Pulau Singkep dan Pulau Lingga. Di lokasi penambangan terdapat kelong-kelong yang berubah menjadi danau-danau besar pasca penambangan pasir karena tidak dilakukan reklamasi, padahal pada awalnya lokasi tersebut adalah hutan rakyat yang kondisi lingkungannya masih baik. Adanya kerusakan ekosistem pulau-pulau kecil, seperti timbulnya lubang-lubang bekas penambangan yang tidak direklamasi serta perubahan topografi lahan di pulau-pulau kecil. Mereka juga mengatakan, untuk melakukan operasi pengawasan di perairan Kabupaten Lingga harus lebih waspada, karena kondisi cuaca saat ini sedang buruk karena angin selatan, sehingga ombaknya cukup besar.



Kabupaten Lingga

Didampingi oleh Gadime dan Bambang dari dinas Sumberdaya Alam Kabupaten Lingga, tim pelaksana operasi pengawasan akan melakukan operasi darat mulai dari Pelabuhan Jago, Pulau Singkep, termasuk didalamnya tim melakukan peninjauan lapangan ke lokasi bekas penambangan pasir darat milik PT. Singkep Mas Utama di Air Mas/Sei Buluh, dari pelabuhan Dabo, dengan menggunakan Kapal Pengawas Hiu 010, melakukan operasi pengawasan menuju Tanjung Buton, Pulau Lingga, tim juga melakukan kunjungan ke Dinas Sumberdaya Alam Kabupaten Lingga di Daik, Pulau Lingga.

Menurut Heru Satrio Wibowo, SH selaku Kasubdid Wasdal Jasa Kelautan dan Sumberdaya Non Hayati, jenis pasir darat yang ada di Air Mas/Sei Buluh termasuk yang memiliki kandungan kuarsa, sehinga harga jualnya tinggi, pasir darat yang berwarna kuning tidak disukai oleh pembeli. Saat ini kolong (kolam bekas penambangan pasir) di wilayah Air Mas digunakan untuk memelihara ikan jenis Nila. Menurut Manager Operasional PT. Singkep Timah Utama, penebaran bibit ikan tersebut dimaksudkan untuk memanfaatkan kolong bekas penambangan pasir, namun menurut pengamatan mereka pertumbuhan ikan sangat lambat dan tidak jarang banyak ikan yang mati, meskipun demikian PT STU belum pernah melakukan uji kualitas air untuk menentukan kelayakan budidaya.

Dari pengambilan sample air yang dilakukan oleh Tim dari DKP , di tiga bagian kolong, yaitu inlet (pemasukan air), bagian tengah kolong, dan outlet (pengeluaran air). Hasil laboratoriumnya adalah parameter NO3, No2, PO4, Hg, Pb, dan Cd masih berada di bawah mutu. Parameter berada tepat diatas baku mutu pada bagian inlet, bagian tengah dan outletnya berada dibawah baku mutu dengan kadar yang tipis. Parameter NH3 (Nitrit), pada bagian inlet dan outlet kadarnya tepat di baku mutu, sedangkan pada bagian tengah telah melampaui asam yang bersifat toksik (beracun) terhadap organisme perairan. Untuk menetralkannya dapat dilakukan pemberian kapur ke dalam perairan.

Dampak pentingnya lingkungan hidup dari kegiatan penambangan pasir (darat dan laut), meliputi komponen fisik, kimia, dan biologi; penduduk asli dan tenaga kerja; dan perekonomian masyarakat.


Peninjauan Lapangan di Batam (Nongsa Pantai, Batu Besar, dan Teluk Mata Ikan)

Menurut informasi yang diterima oleh tim DKP dari pekerja di lokasi, penambangan pasir darat hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, bukan untuk kebutuhan ekspor karena kualitas pasir daratnya yang rendah. Dampak dari penambangan pasir menyebabkan perbukitan menjadi hilang dan mudah terjadi longsor, bahkan muncul danau-danau bekas lubang penambangan yang tidak direklamasi. Di daerah Batu Besar bekas penambangan yang membentuk kelong-kelong tersebut membentuk danau besar.

Penambangan pasir yang berlangsung lama menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove, karena aktifitas penambangan dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Umumnya penambangan pasir darat semata-mata hanya eksploitasi tanpa diikuti dengan upaya perbaikan lingkungan melalui reklamasi.


Upaya memperbaikinya

Operasi pengawasan dan pengendalian pasir laut dan ekspor pasir laut dan sumberdaya non hayati lainnya perlu dilakukan secara intensif dan terpadu dengan melibatkan instansi terkait naik di pusat maupun daerah. Pemerintah juga perlu memberikan saran-saran kepada Pemda untuk memanfaatkan lubang-lubang bekas penebangan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif. Perlu adanya perbaikan lingkungan bekas penambangan, seperti reklamasi dan penebaran bibit ikan pada lubang-lubang bekas penambangan. Perlu dilakukan kembali operasi pengawasan pasir laut dan sumberdaya nonhayati lainnya dengan Kapal Pengawas Hiu.



Kasus Penjualan Pulau-Pulau Kecil Mulai Terungkap

Berdasarkan pengamatan KP Hiu 010 terhadap P. Bawah. Diketahui P. Bawah merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan tidak ditemukan adanya aktivitas pembangunan sarana wisata (resort, cottage maupun dermaga). Mereka hanya menemukan adanya tiang pancang di sekitar P Bawah, diduga adanya kegiatan yang berhubungan dengan aktifitas pengukuran. Kondisi perairannya di sekitar P. Bawah jernih dengan terumbu karang yang bagus sehingga dapat melihat ikan dengan jelas.

Menurut Dama dan Izul, nelayan, P. Bawah adalah tempat utama mereka menangkap ikan dan juga menangkap gongong (Siput), baik untuk di konsumsi maupun di jual. Mereka juga sering melihat turis (melayu dan asing) berkunjung di P. Bawah (19/5). Turis tersebut diduga berasal dari Singapura, Malaysia, dan Australia. Dama dan Izul juga mengetahui adanya desas-desus yang mengatakan bahwa pulau tersebut akan dijual oleh Mochtar (pemilik dan penjual) yang tinggal di Desa Kiabu dan akan dibeli dengan harga 1 milyar, namun mereka tidak tahu siapa yang akan membelinya.

Ketika tim penyidik pergi ke Desa Kiabu, ternyata Mochtar sedang tidak ada di tempat. Menurut Amran (anaknya) dan warga Desa Kiabu, Mochtar sedang berada di Tg Pinang, sedangkan Kades serta Sekdes sedang mengikuti acara di Kecamatan Siantan Selatan. Menurut para warga pula diketahui bahwa Mochtar dikenal sebagai pemilik sebagian besar lahan kebun kelapa di pulau tersebut dan tinggal di Tg Pinang. Warga juga sudah mendengar kabar yang mengatakan P. Bawah telah dijual seharga satu milyar, namun warga tetap tidak mengetahui siapa yang membeli pulau tersebut. Menurut warga, sejak P. Bawah dijual ada beberapa warga yang mengugat atas lahannya yang ternyata ikut terjual. Warga juga merasakan ada kerjasama antara pihak Mochtar dengan Sabeli (Kades) untuk mempermudah proses surat jual beli P. Bawah tersebut, namun mereka tidak mengetahui tujuan dan kepentingan dari pembeli P. Bawah tersebut.

Dari Desa Kiabu, tim penyidik pun beralih ke Kecamatan Siantan Selatan, dengan sasaran bertemu dengan Kades Siabu, Sabeli dan Camat Siantan Selatan. Tim Akhirnya bertemu dengan Sabeli, dan Romi Novit, Camat Siantan Selatan, di kantor Camat Siantan Selatan yang bertepatan sedang menyelenggarakan acara sosialisasi tentang perikanan.

Dari pertemuan tersebut didapat data bahwa P Bawah memang milik M Nurdin, ayah Mochtar, antara 1976-1987. Ia lalu menjual tanahnya tersebut kepada Mochtar, pada saat itu ukuran luas tanah tertera dalam jumlah batang pohon kelapa yang tumbuh diatas kebun yang dimaksud. Adanya UU Agararia yang membatasi kepemilikan tanah, Mochtar lalu membagi tanahnya kepada keluarganya. Kades menepis anggapan bahwa ia berlaku menyimpang dalam proses pengurusan Surat Keterangan Riwayat Pemilik/Pengusahaan Tanah (SKPRT) atas nama Mochtar. Menurutnya, pada saat pengurusan surat tersebut, ia telah meminta petunjuk kepada Camat Siantan, dan dinyatakan sah untuk dilegalisasi baik oleh Kades maupun Camat Siantan.

Ia juga mengatakan sama sekali tidak tahu proses penyerahan hak jual beli tanah atas P. Bawah berdasarkan SKPRT tersebut, karena prosesnya berada pada notaris yang berlokasi di Tg Pinang. Sesuai dengan akta notaris, diketahui nama pemiliknya adalah Tasfinnardi, warga desa Tiangau, Kecamatan Siantan Selatan, yang sekarang tinggal di Tg. Pinang. Menanggapi protes warga yang tanahnya ikut terjual oleh Mochtar, Camat menjawab bahwa ia sudah bertanya kepada muchtar secara langsung dan dijawab dengan menunjukan surat-surat bukti atas lahan masyarakat melalui perjanjian jual beli antara Mochtar dengan beberapa masyarakat tersebut. Kades dan Camat juga sudah mengetahui bahwa P. Bawah sering dikunjungi oleh turis asing, namun menurutnya tidak pernah ada laporan resminya. Dari dokumen akta notaris, terdapat adanya penyerahan hak pengelolaan antara Mochtar dengan Tasffinardi seharga Rp 10 Juta per 2 Ha, hal itu belum mencakup harga jual beli.

Tim pun berangkat menuju rumah Taffsinardi, namun mereka hanya bertemu dengan istri dan anaknya (5th). Saat dihubungi lewat hp Tafsin (Taffsinardi) sedang bekerja dibidang wisata dan akan pulang dua minggu lagi, ia juga mengaku telah membeli P. Bawah untuk Budidaya Rumput Laut dan Budidaya Ikan, namun ia menghidar dan diam saat ditanya mengenai harga P. Bawah. Tim akhirnya memutuskan untuk berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, provinsi Kepulauan Riau, untuk menginformasikan adanya isu ini untuk menentukan langkah pemerintah selanjutnya.

Jumat, 04 April 2008

Lindungi TKW Kita!


Seorang tenaga kerja wanita (TKW) diperkosa dan dianiaya majikannya, dengan cara memasukkan cabe dan wortel ke kemaluan si pembantu perempuan. "Ini kasus serius yang perlu diberi perhatian pemerintah agar kita sadar bahwa sudah sampai waktunya Indonesia memperketat pengiriman TKW ke luar negeri," Jelas Wahyu Susilo dari Migrant Care kepada Tempo, Rabu (9/3).

Eka Apri Setiowati, 20 tahun, buruh migran perempuan Indonesia asal Semarang adalah satu dari ribuan buruh migran Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan dan penganiayaan majikan di Malaysia. Kasus penderitaan Nirmala Bonet (19), TKW (tenaga kerja wanita) asal Nusa Tenggara Timur yang disiksa majikannya di Malaysia, memperpanjang daftar kisah-kisah pilu TKI (tenaga kerja Indonesia) di luar negeri.

Miris hati kita bila membaca tulisan di surat kabar manapun yang menuliskan bahwa Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia yang disiksa oleh para majikannya yang berada di luar negeri. Mau mencari untung malah menjadi buntung. Pemberitaan di Koran benar-benar mengerikan, ada TKW yang pulang dengan wajah yang bonyok, ada yang menjadi cacat ketika pulang ke Indonesia, bahkan hanya berupa mayat pun ada, sungguh menyedihkan.

Bila kita melihat perjuangan RA Kartini, yang membela kaum perempuan, sepertinya perjuangannya tidak dirasakan oleh kaum perempuan yang berada di kalangan bawah terutama yang menjadi TKW. TKW masih merasa dijajah oleh kaum pria, karena banyaknya TKW kita yang dianggap budak, terutama oleh majikan laki-laki. Sungguh menyedihkan

Karena banyaknya pemberitaan tersebut saya jadi bertanya-tanya kemana sebenarnya pemerintah kita? Sudah berapa banyak pemberitaan yang ada di dalam media namun sepertinya tetap tidak ada perubahan sama sekali. Gara-gara TKW juga Negara kita menjadi sebutan Negara yang hanya bisa mengirimkan pembantu ke luar negeri.

Bukankah di Negara lain Indonesia memiliki kantor kedutaan? Lalu kemana duta-duta itu? Apakah mereka tidak pernah menononton Tv? Membaca Koran? WNI kita disiksa namun kenapa sepertinya tidak ada gerakan dari pemerintah sendiri?

Mungkin bukan saya saja yang kecewa dengan tindakan pemerintah yang sepertinya lama sekali bahkan terkesan mengundur-undur apabila terjadi penyiksaan TKW kita di luar negeri. Sudah banyak kasus penyiksaan namun belum ada perubahannya sampai sekarang.

Saya mengutip kata-kata Teguh Wardoyo (Direktur Perlindungan WNI Departemen Luar Negeri (Deplu))pada pemberitaan yang mengatakan ada TKW yang disiksa di Arab Saudi “Seharusnya, sesuai dengan Konvensi Wina, menyangkut setiap warga negara asing yang disiksa atau dibunuh, pemerintah setempat harus segera melaporkan kepada kantor kedutaan warga asing itu,” (http://www.oyr79.com/news/tkw-indonesia-di-amputasi/.

Dalam pemberitaan tersebut juga disebutkan bahwa pemerintah Arab Saudi malah sama sekali tidak tahu bila ada TKW Indonesia yang disiksa oleh majikannya. Saya jadi bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Bukankah seharusnya Indonesia dan Arab Saudi memiliki hubungan Bilateral, yang seharusnya bisa saling menguntungkan namun, kenapa malah sepertinya Arab Saudi menjadi cuek saja terhadap nasib warga orang lain.

Hal itu barulah nasib para TKW yang legal, lalu bagaimana dengan nasib para TKW yang illegal? Mereka lebih-lebih sepertinya tidak ada jaminan perlindungan sama sekali. Ya, memang yang namanya illegal memang tidak bagus, namun yang biasanya menjadi TKW adalah masyarakat kalangan bawah yang pendidikannya kurang, jadi, bagaimana ia bisa tahu kalau ternyata yayasan yang menyalurkannya adalah yayasan yang illegal?

Selama ini, saya belum pernah melihat buku atau keterangan tentang bagaimana menjadi TKW yang legal, kalau keterangannya saja tidak ada bagaimana rakyat kita bisa tahu, sepertinya kita hanya makin dibodohi saja oleh warga Negara lain.

Saya sependapat dengan Teguh yang mengatakan bahwa sesuai dengan konvensi Wina, yang mengatakan bahwa menyangkut setiap warga Negara asing yang disiksa atau dibunuh, pemerintah harus segera melaporkannya ke kedutaan asing. Namun ternyata pemerintah Arab Saudi malah tidak tahu dengan adanya penyiksaan ini. Justru duta Indonesialah yang tahu lebih dahulu.

Jadi, menurut saya seharusnya pekerja di kantor duta Indonesia harus selalu mengecek bagaimana nasib TKW terutama TKW yang legal, karena illegal mungkin duta Indonesia tidak tahu. Untuk yang illegal, seharusnya langsung dipulangkan biar negeri sendiri yang memberikan sanksinya, karena menurut saya mereka masih warga Negara Indonesia sehingga seharusnya dihukumnya pun oleh Negara Indonesia.

Saya pernah membaca mengenai TKW kita yang di tembak mati oleh salah satu Negara tetangga, karena ia di tuduh membunuh majikannya. Menurut saya hal itu benar-benar dirasakan tidak adil. Pertama, apakah benar pemerintah Negara tempat ia bekerja menyelidiki kasusnya dengan benar, lalu kenapa sepertinya pemerintah Indoenesia di cuekin?

Kedua, apa memang benar dia membunuh majikannya karena mencuri, bisa saja dia hanya melindungi dirinya sendiri? Toh pemberitaan dalam beberapa media cetak, TKW tersebut masih tidak mengaku kalau dia bersalah. Ketiga kalaupun ia memang bersalah kenapa harus di hukumnya di Negara orang lain dan bukan di Negara sendiri?

Itulah sebagian dari pertanyaan saya saat membaca berita TKW yang ditembak langsung di Negara orang lain, padahal masih belum jelas apakah dia memang bersalah atau tidak. Saya merasa bahwa ini sama sekali tidak adil bagi TKW Indonesia.

Padahal, dengan adanya TKW, Negara juga mendapatkan keuntungan, karena TKW juga merupakan salah satu sumber defisa Negara. Contohnya saja kasus Sulastri yang jatuh dari lantai 20 (Kompas, 24/5). Kemudian kita dikejutkan lagi dengan berita penyiksaan Ansiar, tenaga kerja wanita (TKW) asal Medan. Kejadian-kejadian semacam ini sudah terjadi sejak lebih dari 30 tahun yang lalu hingga sekarang. Ini terjadi secara rutin sebagai aib yang berkesinambungan, bagi bangsa ini.

Saat ini yang paling membuat saya heran adalah, bangsa kita sebenarnya tidak bodoh, asalkan memang mereka diberita tahu bagaimana caranya, jadi sebaiknya pemerintah pun tidak langsung mengirimkan TKW tanpa memberinya perbekalan yang cukup. Misalnya saja pelatihan bahasa. TKW yang dikirimkan ke Arab Saudi akan lebih mudah membela dirinya bila ia bias dan mengerti bahasa yang digunakan oleh majikannya, dibandingkan TKW yang tidak mengerti apa-apa sehingga gampang untuk diperbudak oleh majikannya.

Pengamanan di Negara tetangga juga sebaiknya semakin diperketat sehingga warga Negara Indonesia bisa lebih mudah mendapatkan perlindungan, jangan seperti sekarang yang sepertinya, para TKW kita masih bingung kemana mereka akan mengadu bila mereka mendapatkan kesulitan.

Masalah TKW yang kian hari rasanya semakin banyak, sebenarnya sudah melanggar HAM mereka, lalu kemana PBB yang katanya mau melindungi Hak Asasi Manusia tersebut?

Pemerintah Indonesia selaku pemegang kewajiban konstitusional untuk melindungi seluruh warga Negara Indonesia, termasuk buruh migrant Indonesia. Semestinya, menempatkan pertimbangan kemanusiaan di atas masalah politik diplomasi untuk mendorong penanganan perkara kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita secara adil dan transparan.

Pemerintah harus membuat peraturan, TKW kita tidak boleh dipekerjakan di rumah orang non muslim karena akan mengganggu kegiatan ibadah dan tidak aman dari segi makan dan minumnya.

Sebagai WNI, TKW seharusnya mendapat perlindungan undang-undang dan mendapat perlakuan HAM yang jelas. Seharusnya pemerintah menyiapkan perangkat yang jelas dan memberi perlindungan terhadap TKW kita. Pengiriman TKW, merupakan hal yang dapat meningkatkan devisa negara. Namun, di luar negeri TKW dinilai rendah karena posisi tawarnya rendah, karena SDM-nya memang rendah. Seharusnya RI meningkatkan hubungan bilateral sehingga kualitas TKW baik dan ada posisi tawarnya. Denda pukulan rotan, tidak akan bisa ditebus. Sistem harusnya dibenahi, karena mengandung arti yang luas.

Bagaimana pun TKWyang legal juga telah memberikan visa bagi luar negeri. Soal ancaman hukuman mati bagi pelaku dari Indonesia, sesuai UUD 45, rakyat harus dibela. Pemerintah harus mengutus aparatnya untuk mengurus pengaturan TKW di wilayah-wilayah yang ada TKW disana perlu disediakan posko yang melayani TKW yang datang.

Sebagai WNI sesuai UUD ‘45, TKW harus mendapat perlindungan dari pemerintah dan bila perlu diberikan penghargaan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan saja penganiayaan, penipuan juga banyak terjadi seperti di Malaysia dan Singapura dan hukumannya telah berjalan.



Pemerintah juga seharusnya bisa memberitahukan perbedaan antara TKW legal dan illegal. Bagaimanakah caranya menjadi TKW Legal, dan lembaga mana saja yang memang berhak untuk mengirimkan TKW ke luar negeri, karena hal itu demi TKW sendiri dan juga pemerintah Indonesia, agar lebih mudah pengecekannya.



Mila Akmalia
(
mila_akmalia@yahoo.com)

Pondok Bambu Kuning c1/28

Bojonggede Bogor, 16320